Welcome to my blog ****http://abr-ar.blogspot.com **** Corat-coret, Copas blog dan pikiran gw ****** my creation my inspiration **** thanks for viewing**** Friendship never end*****

Rabu, 10 Agustus 2011

Kisah kakak adik (motivation)

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari
demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung
mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun
lebih muda dariku. Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang
mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, aku mencuri
lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau
membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat
bambu ditangannya. "Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku
terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun
mengaku, jadi Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua
layak dipukul!"
Dia mengangkat tongkat bambu itu tinggi-tinggi.
Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang
melakukannya!"

Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku
bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus-menerus
mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas.

Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal
memalukan
apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul
sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!" Malam itu, ibu dan aku
memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi
ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu,
saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku
dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi
sekarang. Semuanya sudah terjadi."



Aku masih selalu membenci
diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku.
Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan
seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika
ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.

Ketika
adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke
SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk
ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman,
menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus.
Saya mendengarnya
memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik...
hasil yang begitu baik..." Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan
menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai
keduanya sekaligus?" Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan
ayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah
cukup membaca banyak buku. " Ayah mengayunkan tangannya dan memukul
adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat
lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan
menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!" Dan begitu kemudian ia
mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan
tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan
berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau
tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini."

Aku,
sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke
universitas.Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku
meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit
kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan
meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke
universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan
mengirimimu uang." Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku,
dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun
itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20. Dengan uang yang ayahku pinjam
dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen
pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai
ke tahun ketiga (di universitas).

Suatu
hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan
memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!
"Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan
melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen
dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman
sekamarku kamu adalah adikku?" Dia menjawab, tersenyum, "Lihat
bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu
saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?" Aku merasa
terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari
adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak
perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga!

Kamu
adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..." Dari sakunya, ia
mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya
kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semua gadis kota
memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu." Aku tidak
dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam
pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.

Kali
pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah
diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku
menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidak perlu
menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!"

Tetapi
katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk
membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia
terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."
Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan
sedikit
saleb pada lukanya dan mebalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku
menanyakannya. "Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di
lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu.
Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..." Ditengah kalimat itu ia
berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir
deras turun ke wajahku.

Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.
Ketika
aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku
mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi
mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun,
mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga,
mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah
di sini." Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku
mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan.
Tetapi adikku menolak tawaran tersebut.

Ia bersikeras memulai
bekerja sebagai pekerja reparasi. Suatu hari, adikku di atas sebuah
tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan
listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya.
Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak
menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang
berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius.
Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"

Dengan
tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. "Pikirkan
kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak
berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti
apa yang akan dikirimkan?" Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian
keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah, "Tapi kamu kurang pendidikan
juga karena aku!"
"Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku
menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29. Adikku
kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun
itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya
kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan
berpikir ia menjawab, "Kakakku."

Ia melanjutkan dengan
menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat.
"Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda.
Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke
sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, saya kehilangan satu dari
sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya
memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah,
tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia
tidak dapat memegang sendoknya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama
saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."

Tepuk
tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya
kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam
hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku." Dan
dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan
perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.


[Image: 991509.gif]
Bisakah
kita memiliki jiwa besar seperti si adik yang seperti dalam cerita, ...
tapi bagaimanapun, yang namanya Saudara patut kita jaga dan kita
hormati, apakah itu seorang adik atau seorang kakak. Karena apa arti
hidup kalau tidak bisa membahagiakan sodara dan keluarga kita
 





sumber: kikil.org
Views

Tidak ada komentar:

Posting Komentar